Akhlaq Usahawan Muslim

Posted by Sharia Accounting and Finance Forum On Jumat, Maret 16, 2012 1 comment

Dalam kacamata Islam, kegiatan usaha memiliki kode etik yang bisa memelihara kejernihan aturan Ilahi, jauh dari sikap serakah dan egoisme, sehingga membuat usaha tersebut sebagai mediator dalam membentuk masyarakat yang saling mengasihi satu sama lain.
Sebagian kode etik tersebut akan dipaparkan dalam poin-poin berikut.

1.            Niat yang Tulus

Dengan niat yang tulus, semua bentuk aktivitas yang mubah akan berbuah pahala. Hal ini tergambar pada niatnya mencari kebaikan untuk dirinya dengan memelihara diri dari hal-hal yang haram serta memelihara dirinya dari sifat suka meminta-minta yang tidak baik, di samping menjadikan perbuatan itu sebagai sarana untuk mengikat hubungan silaturrahim atau untuk memberi kepada karib kerabat.
Niat yang tulus itu juga tergambar dalam upaya mencari kebaikan untuk orang lain dengan cara ikut andil membangun umat di masa sekarang dan untuk masa mendatang, serta membebaskan umat dari belenggu ketergantungan kepada umat lain. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .

Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang  (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)


2.            Budi Pekerti Luhur

Di antara budi pekerti yang dimaksud dalam dunia usaha ini adalah seperti kejujuran, sikap amanah dan legawa, menunaikan janji, bersikap konsekuen dalam membayar utang dan memiliki toleransi dalam menagih utang, memberikan kelonggaran kepada orang yang berutang dan kesulitan membayarnya, memahami kekurangan orang lain, menghindari sikap menahan hak, menipu, memanipulasi, dan sejenisnya.

التاجر الصدوق الأمين مع النبيين والصديقين والشهداء

Pedagang yang jujur dan terpercaya akan dibangkitkan bersama para Nabi, orang-orang shiddiq dan para syuhada.” (HR. At-Tirmidzi)

رَحِمَ اللَّهُ رَجُلاً سَمْحًا إِذَا بَاعَ ، وَإِذَا اشْتَرَى ، وَإِذَا اقْتَضَى

Semoga Allah merahmati seseorang yang bersikap mudah ketika menjual, ketika membeli dan ketika menagih haknya (utangnya).” (HR. Al-Bukhari)

3.            Usaha yang Halal

Allah menghalalkan yang baik-baik kepada para hamba-Nya dan mengharamkan bagi mereka yang buruk-buruk. Seorang usahawan muslim tentu saja tidak bisa keluar dari bingkai aturan ini, meskipun tampak ada keuntungan dan hal yang menarik serta menggiurkan baginya.
Seorang usahawan muslim tidak seharusnya tergelincir hanya karena mengejar keuntungan sehingga membuatnya berlari dari yang dihalalkan oleh Allah dan mengejar yang diharamkan oleh Allah. Padahal segala yang dihalalkan dapat menjadi kompensasi yang baik dan penuh berkah. Segala yang disyariatkan oleh Allah dapat menggantikan apapun yang diharamkan oleh-Nya.

4.            Menunaikan Hak

Seorang pengusaha muslim akan menyegerakan untuk menunaikan hak orang lain, baik itu berupa upah pekerja, maupun utang terhadap pihak tertentu. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda (yang artinya),

“Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Ada tiga golongan yang menjadi musuh-Ku pada Hari Kiamat nanti: Orang yang memberi (jaminan) atas nama-Ku, lalu ia berkhianat, orang yang menjual orang merdeka lalu memakan hasilnya, dan orang yang menyewa pekerja dan meminta pekerja itu untuk melaksanakan seluruh tugasnya, namun tidak memberikan upahnya.” (HR. Al-Bukhari)

Di antara hak-hak yang harus ditunaikan yang paling utama adalah hak-hak Allah terhadap para hamba-Nya yang kaya dalam harta mereka, yakni dalam bentuk zakat-zakat wajib, lalu diikuti dengan sedekah dan infak. Semua pengeluaran itu dapat membersihkan harta dari segala noda syubhat dan dapat menyucikan hati dari berbagai penyakit yang menyelimutinya seperti rasa kikir, tak mau mengalah dan egois.

5.            Menghindari Riba dan Segala Sarananya

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya),

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (QS. Al-Baqarah: 275—276)

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda (yang artinya),

“Hindarilah tujuh hal yang membinasakan.” Para sahabat bertanya, “Apakah tujuh hal itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Perbuatan syirik terhadap Allah, sihir, membunuh orang yang diharamkan oleh Allah untuk dibunuh kecuali dengan alasan yang haq, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh wanita suci yang sudah menikah yang lengah lagi beriman bahwa mereka berzina.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

6.            Menghindari Mengambil Harta Orang Lain dengan Cara Bathil

Kehormatan harta seorang muslim sama dengan kehormatan darahnya. Tidak halal harta seorang muslim untuk diambil kecuali dengan kerelaan hatinya. Di antara bentuk memakan harta orang lain dengan cara yang haram adalah: uang suap, penipuan, manipulasi, perjudian, najsy, menyembunyikan harga yang sebenarnya (kamuflase harga), menimbun barang, memanfaatkan ketidaktahuan orang lain, penguluran pembayaran utang oleh orang kaya, dan lain sebagainya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya),

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa: 29)

7.            Menjaga Komitmen terhadap Peraturan Syari’at

Seorang usahawan muslim tidak akan membiarkan dirinya terkena sanksi hukuman undang-undang positif karena ia melanggar aturan-aturan dan rambu-rambu yang dihormati di tengah masyarakat. Hal ini dilakukan demi mengokohkan kewajiban yang dititahkan Allah kepadanya untuk mencegah terjadinya kerusakan dan bahaya serta  tidak membiarkan diri sendiri celaka.

8.            Tidak Membahayakan Orang Lain

Seorang usahawan muslim harus menjadi kompetitor yang baik dan terhormat. Dalam melakukan kompetisi bisnis, ia tetap menganut kaidah “tidak melakukan mudharat dan tidak membalas dengan mudharat terhadap orang lain”.

9.            Loyal kepada Orang-orang Beriman

Seorang pengusaha muslim meskipun sudah melanglang buana ke seluruh penjuru bumi, dan sudah menguasai barat dan timur dengan usaha yang dijalaninya, namun ia tetap bagian dari umat Islam juga. Ia tetap harus mengusung dalam hatinya loyalitas, kecintaan dan pembelaan terhadap umat ini. Ia tetap menjadi juru nasihat bagi umat Islam, tetap mencintai kebaikannya, tidak menyokong musuh umat atas umat itu. Sehingga dalam melakukan usahanya ia tidak akan bekerja sama dengan musuh-musuh Allah untuk melakukan hal-hal yang membahayakan umat Islam.
Dalam melakukan segala sikapnya, ia selalu bertolak dari dasar keyakinan yang kokoh, yang lebih besar daripada uang dan lebih mengakar daripada gunung. Keyakinan itu mencanangkan dalam hatinya sikap Al-Wala’ dan Al-Bara’. Akar keyakinan itu semakin diperdalam oleh puluhan nash yang diriwayatkan berkaitan dengan persoalan ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya),

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (QS. Ali Imran: 28)

10.      Mempelajari Hukum-hukum Mu’amalah Islam

Diriwayatkan dari Amirul Mukminin Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia mengeluarkan setiap pedagang yang tidak paham tentang jual beli (yang syar’i) dari pasar, seraya berkata, “Tidak diperkenankan berdagang di pasar-pasar kaum muslimin bagi siapa saja yang tidak memahami seluk beluk riba.”

Sumber:    Fikih Ekonomi Keuangan Islam, karya Prof. Dr. Shalah Ash-Shawi & Prof. Dr. Abdullah Al-Mushlih, penerbit Darul Haq tahun 2008.


Ummu Syujaa'

1 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...