Saat ini, istilah saham sudah tidak lagi familiar ditelinga para pengusaha saja, melainkan hampir semua orang akrab dengannya. Bagaimana islam memandangnya?
Saham dapat diartikan sebagai surat bukti kepemilikan atas sebuah perusahaan yang melakukan penawaran umum (go public) dalam nominal ataupun persentase tertentu (Nurul Huda). Sebagaimana kita tahu, instrumen saham belum didapati pada masa Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wassalam karena saat itu yang ada hanyalah perdagangan komoditas barang riil sehingga bukti kepemilikan belum direpresentasikan dalam bentuk saham dan jual-beli aset masih dilakukan melalui mekanisme jual-beli biasa, bukan melalui Initial Public Offering.
Dikarenakan belum adanya nash atau teks Al Quran maupun Al Hadits terkait saham maka para ulama dan fuqaha kontemporer ber-ijtihad untuk menemukan rumusan kesimpulan hukum tersendiri mengenai saham. Nurul Huda, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Yarsi, dalam penjelasannya menyebutkan (dengan pengubahsesuaian)
Para fuqaha kontemporer berselisih pendapat dalam memperlakukan saham dari aspek hukum (tahkim) khususnya dalam jual-beli. Ada sebagian yang membolehkan transaksi jual-beli saham dan ada yang tidak membolehkan. Para fuqaha yang tidak membolehkan transaksi jual-beli saham memberikan beberapa argumentasi yang di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Saham dipahami sebagaimana layaknya obligasi (surat utang), di mana saham juga merupakan utang perusahaan terhadap para investor yang harus dikembalikan sehingga memperjualbelikannya sama hukumnya dengan jual-beli hutang yang dilarang syariah.
3. Para investor (pembeli saham) keluar dan masuk tanpa diketahui oleh seluruh pemegang saham.
4. Harga saham yang diberlakukan ditentukan senilai dengan ketentuan perusahaan yaitu pada saat penerbitan dan tidak mencerminkan modal awal pada waktu pendirian.
5. Harta atau modal perusahaan penerbit saham tercampur dan mengandung unsur haram sehingga menjadi haram semuanya.
6. Transaksi jual-beli saham dianggap batal secara hukum, karena dalam transaksi tersebut tidak mengimplementasikan prinsip pertukaran (sharf), jual-beli saham adalah pertukaran uang dan barang, maka prinsip saling menyerahkan (taqabudh) dan persamaan nilai (tamatsul) harus diaplikasikan. Dikatakan kedua prinsip tersebut tidak terpenuhi dalam transaksi jual-beli saham.
7. Adanya unsur ketidaktahuan (jahalah) dalam jual-beli saham dikarenakan pembeli tidak mengetahui secara persis spesifikasi barang yang akan dibeli yang terefleksikan dalam lembaran saham. Sedangkan salah satu syarat syahnya jual-beli adalah diketahuinya barang (ma'luumu al mabi').
8. Nilai saham pada setiap tahunnya tidak bisa ditetapkan pada satu harga tertentu, harga saham selalu berubah-ubah mengikuti kondisi pasar bursa saham, untuk itu saham tidak dapat dikatakan sebagai pembayaran nilai pada saat pendirian perusahaan.
Berbeda dengan pendapat pertama, para fuqaha yang membolehkan jual-beli saham mengatakan bahwa saham sesuai dengan terminologi yang melekat padanya, maka saham yang dimiliki oleh seseorang menunjukkan sebuah bukti kepemilikan atas perusahaan tertentu yang berbentuk aset, sehingga saham merupakan cerminan kepemilikan atas aset tertentu. Logika tersebut dijadikan dasar pemikiran bahwa saham dapat diperjualbelikan sebagaimana layaknya barang. Para ulama kontemporer yang merekomendasikan hal tersebut di antaranya Abu Zahrah, Abdurrahman Hasan, dan Khalaf sebagaimana dituangkan oleh Qardhawi dalam kitabnya Fiqhu Zakah yang menyatakan bahwa jual-beli saham dibolehkan secara syariah dan hukum positif yang berlaku.
Selain itu, dengan terdapat fatwa-fatwa ulama kontemporer tentang jual-beli saham yang semakin memperkuat landasan akan diperbolehkannya jual-beli saham, seperti dalam kumpulan fatwa Dewan Syariah Nasional Saudi Arabia yang diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz Ibn Abdillah Ibn Baz, pada jilid 13 (tiga belas) bab jual-beli fatwa nomor 4016 dan 5149 tentang hukum jual-beli saham terdapat pernyataan sebagai berikut: ''Jika saham yang diperjualbelikan tidak serupa dengan uang secara utuh apa adanya, akan tetapi hanya representasi dari sebuah aset seperti tanah, mobil, pabrik, dan yang sejenisnya, dan hal tersebut merupakan sesuatu yang telah diketahui oleh penjual dan pembeli, maka dibolehkan hukumnya untuk diperjualbelikan dengan harga tunai ataupun tangguh, yang dibayarkan secara kontan ataupun beberapa kali pembayaran, berdasarkan keumuman dalil tentang bolehnya jual-beli''. Sedangkan di Indonesia, fatwa Dewan Syariah Nasional Indonesia No. 40/DSN-MUI/2003 juga memutuskan diperbolehkannya jual-beli saham.
Perlu kita perhatikan bahwa diperbolehkannya jual-beli saham hanya berlaku apabila memenuhi ketentuan yang berlaku. Tentunya harus memenuhi syarat jual-beli syariah pada umumnya seperti tidak terdapat unsur maisir, gharar, haram, dhulm, ghisy, dan najasy. Selain itu, Dr. Muhammad Arifin Baderi, Dewan Pembina Senior Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia, menerangkan syarat diperbolehkannya jual-beli saham, yaitu
1. Perusahaan tersebut bergerak dalam usaha yang halal.
2. Pengelolaan keuangannya benar, tidak menggunakan pembiayaan riba atau menerapkan persyaratan riba (berbunga bila telat bayar) ketika memberikan pinjaman sebagian dananya.
3. Pembeliannya dilakukan dengan cara-cara yang benar, yaitu dari pemilik atau yang mewakilinya, bukan dari penjual saham yang tidak memiliki saham (broker), yang kadang kala hanya meminjam saham orang lain untuk dijual dalam tempo singkat, untuk kemudian dibeli kembali dan dikembalikan kepada pemilik saham yang sah.
4. Tidak menjual kembali saham yang telah dibeli kecuali bila proses serah terima saham dari penjual pertama benar-benar telah tuntas.
Selain itu, terdapat syarat tambahan dari penjelasan Ahmad Gozali, Perencana Keuangan, bahwa semua saham yang diterbitkan harus memiliki hak yang sama, hal ini disebabkan karena saham adalah bukti kepemilikan atas sebuah perusahaan sehingga peran setiap pemilik saham ditentukan dari jumlah lembar saham yang dimilikinya. Namun, pada kenyataannya ada perusahaan yang menerbitkan dua macam saham, yaitu saham biasa dan saham preferen yang tidak punya hak suara namun punya hak untuk mendapatkan deviden yang sudah pasti. Tentunya hal ini bertentangan dengan aturan syariat tentang bagi hasil. Maka saham yang sesuai syariat adalah saham yang setiap pemiliknya memiliki hak yang proporsional dengan jumlah lembar saham yang dimilikinya.
Karena ber-islam itu harus kaffah maka sudah seharusnya kita memerhatikan dan menerapkan segala ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, termasuk dalam berinvestasi saham.
Wallahu’alam
Referensi:
0 komentar:
Posting Komentar