Masyarakat modern identik dengan segala kemudahan, termasuk dalam bertransaksi. Tak sedikit orang-orang sekarang yang berbelanja ke mall atau swalayan tanpa membawa uang tunai, karena dalam dompet mereka tersimpan berbagai sarana yang mempermudah pembayaran, seperti kartu atm, atau kartu kredit.
Oleh sebab kepraktisannya, sistem pembayaran dengan kartu kredit konvensional berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir, bahkan transaksinya mencapai ratusan trilyun tiap tahun. Efeknya daya konsumsi masyarakat meningkat, sekaligus merupakan solusi bagi orang-orang yang terdesak untuk memenuhi kebutuhan. Namun, kartu kredit ini sendiri dapat dengan mudah menjadi senjata makan tuan apabila tidak diatur penggunaannya secara efektif dan efisien. Sering pada akhirnya para pengguna kartu kredit terjebak dalam gaya hidup konsumtif yang berlebihan. Dengan rata-rata bunga 2-5% per bulan, dalam satu tahun bunga yang harus dibayar oleh pengguna kartu kredit bisa mendekati pokok pinjaman, belum termasuk bunga denda apabila terlambat mencicil pinjaman. Tercekik hutang jadinya.
Pada Juli 2007, Bank Danamon bekerja sama dengan Mastercard menerbitkan Dirham card, yaitu kartu kredit dengan prinsip syariah pertama di Indonesia yang mengantongi ijin Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui fatwa persetujuan Nomor 54/DSN-MUI/IX/2006 serta surat persetujuan
Bank Indonesia (BI) Nomor 9/183/DPbS/2007. Fatwa MUI tersebut berisi aturan-aturan dan batasan-batasan bagi kartu kredit dan penerbitnya untuk bisa memakai label syariah. Walau telah diatur oleh MUI, masih ada beberapa hal terkait kartu kredit syariah yang mengundang perdebatan, termasuk diantaranya menyebabkan masyarakat konsumtif, atau gemar berutang. Penasaran? Mari kita telisik lebih jauh.Dalam kartu kredit syariah, berdasarkan fatwa MUI nomor 54/DSN-MUI/IX/2006 ada tiga akad yang diberlakukan, antara lain:
• Kafalah, dalam hal ini Penerbit kartu adalah penjamin (kafil) bagi Pemegang Kartu terhadap Merchant atas semua kewajiban bayar (dayn) yang timbul dari transaksi antara Pemegang Kartu dengan Merchant, dan/atau penarikan tunai dari selain bank atau ATM bank Penerbit kartu. Atas pemberian Kafalah, penerbit kartu dapat menerima fee (ujrah kafalah).
• Qardh, dalam hal ini Penerbit kartu adalah pemberi pinjaman (muqridh) kepada Pemegang Kartu (muqtaridh) melalui penarikan tunai dari bank atau ATM bank Penerbit kartu.
• Ijarah, dalam hal ini Penerbit kartu adalah penyedia jasa sistem pembayaran dan pelayanan terhadap Pemegang Kartu. Atas Ijarah ini, Pemegang Kartu dikenakan membership fee.
Disamping ketiga akad yang ditentukan oleh fatwa MUI tersebut, dalam transaksi kartu kredit, dapat pula digunakan akad-akad lainnya, seperti Akad Wakalah, yaitu pemberian kuasa, atau perwakilan antara dua pihak, dimana pihak pertama (muwakkil) mewakilkan suatu urusan (taukil) kepada pihak kedua (wakil) untuk bertindak atas nama dan untuk kepentingan pihak pertama. Contoh : pada saat terjadi akad antara pemegang kartu dan penerbit kartu (Bank), nasabah pemegang kartu sudah memberikan memberikan kuasa (mewakilkan) kepada Bank untuk melunasi hutang yang timbul sebagai akibat dari pengeluaran Nasabah dengan menggunakan kartu kredit kredit tersebut), ada pula Akad Hiwalah, yaitu memindahkan hutang dari tanggungan orang yang berhutang (muhil) menjadi tanggungan orang yang berkewajiban membayar hutang (muhal ’alaih). Seperti halnya pada konsep Hiwalah (Hawalah), Nasabah pada dasarnya memiliki hutang kepada merchant (dengan membeli suatu barang atau jasa tertentu misalnya), dan kemudian merchant tersebut menagih kepada Bank. Dalam ini, antara merchant dengan Bank tidak ada hubungan khusus. Namun, karena adanya wakalah yang ditindak lanjuti dengan Hawalah, maka Bank berkewajiban untuk membayarkan tagihan hutang dari Merchant tersebut atas nama Nasabah. Selanjutnya, Bay’bi Ajal, akad ini biasanya terjadi antara 2 pihak, dimana hubungannya langsung antara nasabah selaku pemegang kartu kredit dengan merchant. Nasabah membeli produk secara cicilan kepada merchant, pembayarannya dilakukan secara mencicil (taqsith).
Dalam fatwa MUI di atas, selain ketentuan akad, tercantum batasan-batasan yang diberlakukan dengan tujuan menjaga label syariah, yaitu :
• Tidak menimbulkan riba.
• Tidak digunakan untuk transaksi yang tidak sesuai dengan syariah. Dengan kata lain, kartu kredit syariah tidak dapat digunakan untuk melakukan transaksi yang haram, transaksi barang haram, maupun transaksi di tempat-tempat yang bertentangan dengan Islam, sebagai contoh, digunakan untuk membeli barang-barang haram seperti minuman keras, babi dan barang haram lainnya atau digunakan untuk transaksi membayar diskotik, bar, pelacuran, perjudian dan jasa haram lainnya.
• Tidak mendorong pengeluaran yang berlebihan (israf), dengan cara antara lain menetapkan pagu maksimal pembelanjaan. Salah satu kebijakan yang diambil oleh bank yaitu dengan menerapkan cash collateral atau goodwill investment, minimal sebesar 10% dari limit kartu dengan maksud mencegah nasabah dari lilitan hutang. Jadi kalau nasabah mendapatkan limit kartu sampai dengan Rp 10 juta, maka dia harus menyetor dahulu ke rekening tabungan sebesar Rp 1 juta, baru kemudian kartunya dapat diaktifkan.
• Pemegang kartu utama harus memiliki kemampuan finansial untuk melunasi pada waktunya. Aturannya, minimum pendapatan calon pemegang kartu paling tidak 3 (tiga) kali upah minimum regional per bulan. Penetapan ini juga mempunyai tujuan agar masyarakat tidak menjadikan hutang sebagai salah satu sarana utama untuk pembiayaan kebutuhan hidup, selain itu kartu kredit syariah agar lebih difungsikan sebagai alat pembayaran yang memberikan kemudahan dan kenyamanan dan bukan semata-mata sebagai alat untuk meningkatkan kemampuan konsumsi.
• Tidak memberikan fasilitas yang bertentangan dengan syariah.
Kartu kredit syariah, seperti kartu kredit secara umumnya, memiliki biaya-biaya yang dibebankan kepada pengguna kartu. Namun, hanya ada empat jenis biaya yang diperbolehkan untuk diterima oleh penerbit kartu. Biaya-biaya tersebut ialah sebagai berikut :
• Iuran keanggotaan (membership fee)
Penerbit kartu berhak menerima iuran keanggotaan (rusum al-'udhwiyah) termasuk perpanjangan masa keanggotaan dari pemegang Kartu sebagai imbalan (ujrah) atas izin penggunaan fasilitas kartu.
• Merchant fee
Penerbit kartu boleh menerima fee yang diambil dari harga objek transaksi atau pelayanan sebagai upah/imbalan (ujrah) atas perantara (samsarah), pemasaran (taswiq) dan penagihan (tahsil al-dayn).
• Fee penarikan uang tunai
Penerbit kartu boleh menerima fee penarikan uang tunai (rusum sahb al-nuqud) sebagai fee atas pelayanan dan penggunaan fasilitas yang besarnya tidak dikaitkan dengan jumlah penarikan.
• Fee Kafalah
Penerbit kartu boleh menerima fee dari Pemegang Kartu atas pemberian Kafalah.
Semua bentuk fee tersebut di atas harus ditetapkan pada saat akad aplikasi kartu secara jelas dan tetap, kecuali untuk merchant fee.
Ketentuan selanjutnya, apabila terlambat dalam pembayaran kartu, maka nasabah dikenakan ta’widh dan denda. Dalam sistem kartu kredit konvensional, denda keterlambatan pembayaran seluruhnya merupakan pendapatan bagi penerbit kartu, bahkan bisa menjadi sumber pendapatan yang besar karena pengenaan bunga yang berlipat-lipat. Hal ini berbeda dengan sistem kartu kredit syariah, yang dapat diakui sebagai pendapatan bagi penerbit kartu hanyalah ta'widh, yaitu ganti rugi terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Penerbit kartu akibat keterlambatan pemegang kartu dalam membayar kewajibannya yang telah jatuh tempo. Sedangkan denda keterlambatan (late charge), tidak dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan penerbit kartu, melainkan diakui seluruhnya sebagai dana sosial.
Tata cara penagihan kartu kredit syariah dilakukan sesuai dengan syariah. Pihak bank syariah lebih mengutamakan edukasi kepada nasabah tentang kewajiban hutang piutang menurut ajaran Islam. Disisi lain, bank syariah juga akan menilai kemampuan bayar nasabah, apakah nasabah dalam kesulitan keuangan atau termasuk nasabah nakal. Jika nasabah mengalami kesulitan maka akan diberikan keringanan atau tangguh dalam membayar. Cara penagihan kartu kredit syariah dilakukan melalui pendekatan kepada nasabah bukan melalui cara-cara premanisme, tidak menggunakan kekerasan dan penganiayaan terhadap nasabah. Bank syariah juga tidak akan melakukan teror baik secara langsung kepada nasabah maupun orang-orang terdekat nasabah.
Demikian yang dapat kami sampaikan. Sekalipun masih banyak pertentangan di balik berlakunya kartu kredit syariah ini, setidaknya kita mengetahui ilmunya barang sedikit, sehingga dapat memacu kita untuk mempelajarinya lebih dalam lagi dan membantu kita untuk memutuskan apakah kita akan menggunakannya atau tidak, walaupun secara logika saya sangat menganjurkan bagi para pengguna kartu kredit konvensional untuk segera berpindah menggunakan kartu kredit syariah karena keuntungannya, kebaikannya, dan kemaslahatannya untuk umat. Semoga informasi ini berguna.
Wallahu'alam bi shawab.
(berbagai sumber)
Diena Novianti
0 komentar:
Posting Komentar