Sebagian orang
menganggap bahwa riba lebih pasti ada pada uang kertas karena kecenderungan
inflasi yang lebih besar. Beda halnya dengan dinar dan dirham yang harganya
relatif lebih stabil sehingga sulit terjadi riba. Padahal hakekat riba bukanlah
karena kestabilan nilai dari suatu mata uang. Riba itu dapat terjadi karena
adanya penambahan ketika komoditi ribawi yang sejenis ditukar atau penambahan
itu terjadi karena sebab penundaan. Risalah kali ini adalah sebagai nasehat
bagi pendaulat dinar dan dirham sebagai tanda kasih dari kami pada sesama
muslim.
Mengenal Dinar dan Dirham
Dinar dan dirham berasal
dari bahasa Persia
yang kemudian diadopsi menjadi bahasa Arab. Dinar merupakan potongan emas yang
dicetak dan diukur dengan timbangan mitsqol. Para fuqoha menuturkan bahwa satu
dinar setara dengan satu mitsqol.
Adapun dinar aslinya
berasal dari negeri Romawi. Dinar sendiri telah disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
وَمِنْهُمْ مَنْ إِنْ تَأْمَنْهُ
بِدِينَارٍ لَا يُؤَدِّهِ إِلَيْكَ
“Dan di antara mereka (ahli kitab) ada orang yang jika kamu
mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu
…” (QS. Ali Imron: 75).
Sedangkan dirham berasal dari bahasa Yunani
yang diadopsi menjadi bahasa Arab. Dirham adalah di antara mata uang yang
terbuat dari perak. Mengenai dirham disebutkan dalam ayat,
وَشَرَوْهُ بِثَمَنٍ بَخْسٍ دَرَاهِمَ
مَعْدُودَةٍ وَكَانُوا فِيهِ مِنَ الزَّاهِدِينَ
“Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa
dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf”
(QS. Yusuf: 20). Namun dirham ada berbagai macam jenis dan berbeda dalam
timbangan.
Yang dijadikan patokan
dalam syar’i, dinar dan dirham menggunakan timbangan penduduk Mekkah
sebagaimana yang ditetapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
sabdanya,
الوزن وزن مكة والمكيال مكيال
أهل المينة
“Standar timbangan adalah timbangan penduduk Mekkah dan standar
takaran adalah takaran penduduk Madinah” (HR. Ibnu Hibban 8: 77, sanad shahih).
Ukuran dinar syar’i
ini tidak berubah di masa jahiliyah dan di masa Islam. Berdasarkan ijma’ (kata
sepakat ulama), 7 dinar sama dengan 10 dirham. Jadi bisa dikatakan bahwa 1
dinar sama dengan 10/7 atau 1.42 dirham.
Ibnu Qudamah berkata,
“Dirham yang dianggap sebagai nishob adalah setiap 10 dirham setara dengan 7
mitsqol yaitu dengan ukuran mitsqol emas” (Al Mughni, 2: 596).
Jika kita menyetarakan
dinar dan dirham dengan ukuran gram, maka pendapat yang lebih kuat adalah 1
dinar setara dengan 4,25 gram emas dan 1 dirham setara dengan 2,975 gram perak.
Demikian pendapat yang dianut oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin dan
menjadi pegangan Al Mawshu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah.[1]
Haruskah Menggunakan Dinar dan
Dirham?
Sudah diterangkan
bahwa dinar dan dirham asalnya bukan mata uang negeri Islam. Bahkan asalnya
dari luar Arab lalu diadopsi setelah itu menjadi mata uang di masa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Intinya, jika dinar
dan dirham diklaim sebagai mata uang Islam, itu keliru. Begitu pula jika
dipaksakan setiap umat Islam harus menggunakan dua mata uang tersebut itu juga
keliru. Karena dinar dan dirham termasuk fi’il ‘adat atau
kebiasaan di masa beliau, bukan hal yang sunnah atau bahkan wajib. Jadi
perbuatan beliau memakai dinar dan dirham di masanya karena inilah adat
setempat, bukan suatu bentuk qurbah atau ibadah. Sama halnya dengan pakaian
yang beliau kenakan disesuaikan pula dengan keadaan sekitarnya. Jika dinar dan
dirham itu lebih stabil nilainya, itu masalah lain.
Fakta Sejarah Mengenai Dinar
dan Dirham
Jika ada yang mengatakan bahwa nilai mata uang
kertas saat ini mudah mengalami fluktuasi beda halnya dengan dinar dan dirham
atau emas dan perak. Realitanya, dinar dan dirham pun sebenarnya mengalami
fluktuasi. Demikianlah fakta sejarah yang tidak bisa dipungkiri.
Dikisahkan bahwa Ibnu
‘Umar pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
"Aku biasa berdagang onta di daerah Baqii'. Aku menjual dengan harga
dinar. Akan tetapi ketika pembayaran aku menerima pembayaran dengan uang
dirham. Dan kadang kala sebaliknya, aku menjual dengan harga dirham, namun aku
menerima pembayaran dengan uang dinar. Demikianlah, aku menjual dengan mata
uang ini, akan tetapi ketika pembayaran aku menerimanya atau membayarnya dalam
bentuk mata uang lainnya." Menanggapi pertanyaan sahabatnya ini,
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
"Tidak mengapa engkau melakukan hal itu dengan harga yang berlaku pada
hari itu juga, asalkan ketika engkau berpisah (dari lawan transaksi) tidak
tersisa sedikit pun pembayaran yang harus dibayarkan." (HR. Ahmad, Abu
Daud, dan lainnya. Menurut banyak ulama' jalur sanad hadits ini mawquf, hanya berhenti sampai Ibnu Umar).
Kisah ini telah menjadi bukti nyata bahwa
nilai mata uang dinar dan dirham bersifat fluktuatif, naik dan turun selaras
dengan perubahan berbagai faktor terkait.
Perubahan nilai dinar
dan dirham bisa saja terjadi karena tindakan ceroboh manusia itu sendiri. Di
antaranya banyak pemalsuan dinar dan dirham, juga banyaknya pemotongan uang
dinar dan dirham yang kemudian diubah fungsinya menjadi perhiasan atau batangan
atau lainnya, ditambah lagi karena adanya hukum pasar yang terwujud pada
perbandingan antara penawaran dan permintaan (supply and demand).
Pandangan Riba pada Dinar &
Dirham
Riba seperti telah kita ketahui bersama
berarti tambahan, sebagaimana makna secara bahasa. Sedangkan secara istilah
berarti tambahan pada sesuatu yang khusus.
Pembicaraan mengenai
riba dapat kita lihat pada hadits Abu Sa’id Al Khudri, di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ
وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ
وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ
فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ
“Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum
dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir,
kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran
atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah
atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil
tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa”
(HR. Muslim no. 1584).
Hadits di atas
menunjukkan menunjukkan bahwa jika emas ingin ditukar dengan emas, maka harus
tunai (yadan bi yadin) dan harus dengan timbangan yang sama (mitslan bi mitslin). Jika emas ditukar dengan sesama
barang yang masih memiliki ‘illahyang sama yaitu
sama-sama sebagai alat untuk jual beli dan sebagai alat ukur nilai harta benda,
maka satu syarat yang mesti dipenuhi yaitu harus tunai (yadan bi yadin). Mata uang memiliki ‘illah yang sama dengan emas dan perak. Oleh
karenanya jika emas ingin ditukar dengan mata uang, atau kita katakan bahwa
emas ingin dibeli, maka syarat yang harus dipenuhi adalahyadan bin yadin.
Jika syarat yang
diberlakukan di atas tidak terpenuhi, maka akan terjerumus dalam riba. Jika ada
kelebihan timbangan dalam penukaran barang sejenis –semisal emas dan emas-,
maka terjerumus dalam riba fadhel.
Sedangkan jika emas dibeli secara tidak tunai atau emas dijual via internet,
maka terjerumus dalam riba nasi-ah karena
adanya penundaan dalam penyerahan emas. Karena sekali lagi syarat dalam
penukaran atau penjualan emas adalah adanya qobdh atau
serah terima tunai. Ini syarat yang tidak bisa ditawar-tawar.
Jelaslah di sini bahwa riba pada mata uang
kertas terjadi bukan karena nilainya yang fluktuatif. Riba pada uang kertas
bisa terjadi karena ia sebagai alat tukar dalam jual beli atau alat pengukur
kekayaan seseorang. Dan ini pun berlaku pada emas dan perak. Jadi emas dan
perak pun bisa terdapat riba. Ini yang mesti dipahami.
Sekedar bermodalkan
semangat untuk kembali pada dinar dan dirham tanpa memperhatikan aturan dalam shorf (penukaran emas), itu jelas keliru. Inilah
yang kurang diperhatikan oleh para aktivis pendaulat dinar-dirham. Semoga Allah
senantiasa memberikan kita semangat untuk membela Islam namun dilandasi dengan
ilmu dan bashiroh.
Wallahu waliyyut taufiq was
sadaad.
@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 5/6/1433 H
0 komentar:
Posting Komentar